Sabtu, 30 Januari 2016

JURNAL 2 LOCAL RESOURCE UTILIZATION AND TECHNOLOGICAL INNOVATION IN SUPPORT DEVELOPMENT OF CATTLE IN INDONESIA




Memasuki era perdagangan bebas dan tren desentralisasi, pembangunan pertanianmenghadapi berbagai tantangan, yaitu pemenuhan kecukupan pangan, peningkatankesejahteraan petani, serta penyediaan lapangan kerja melalui pengembangan usaha dan sistem agribisnis berdaya saing. Penggunaan produk pertanian akan makin beragam, tidak saja untuk konsumsi langsung dan ekspor tetapi juga sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Sementara itu, diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering dianggap sebagai limbah (waste producttelah mendorong perkembangan usaha agribisnis yang integratif dan sering disebut dengan pola pertanian ramah lingkungan atau zero wastePermintaan pangan asal ternak saat ini cenderung terus meningkat, apalagi ratarata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah, yaitu kurang dari 4 g/kapita/hari. Sementara itu, elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk peternakan relatif cukup tinggi (Soedjana et al. 1994). Dengan demikian, peningkatan populasi, perbaikan kesejahteraan penduduk, penurunan harga, perubahan gaya hidup yang dibarengi dengan perkembangan perdagangan dan komunikasi global, secara otomatis akan mendorong permintaan produk peternakan. Kondisi ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan industri peternakan, seirama dengan antisipasi kemungkinan terjadinya ‘Revolusi Peternakan’ tahun 2020, seperti yang diramalkan Delgado et al. (1999). Untuk memenuhi kebutuhan produk peternakan yang terus meningkat, Indonesia ternyata masih harus mengimpor pakan dalam jumlah banyak, baik berupa bahan baku maupun produknya. Saat ini impor jagung, kedelai, dan tepung ikan untuk keperluan pabrik pakan masih sangat besar, yaitu 2,0-2,5 juta ton/tahun. Demikian pula halnya dengan obat-obatan, vaksin, feed additive, dan bahan pendukung lainnya juga masih banyak yang diimpor. Produk peternakan yang banyak diimpor adalah susu bubuk dengan nilai Rp5 triliun/tahun, kulit olahan, serta daging dan sapi bakalan yang pada tahun 1996 telah mencapai nilai sekitar Rp2,0-Rp2,5 triliun (Apfindo 2000). Impor daging dan sapi bakalan yang cenderung terus meningkat antara lain karena gap permintaan dan produksi di dalam negeri semakin tinggi. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, Indonesia akan menjadi negara importir sapi bakalan terbesar di dunia. Di lain pihak, pasokan dari dalam negeri diduga makin berkurang, karena telah dan sedang terjadi pengurasan sapi terutama sejak impor daging dan sapi bakalan terhenti pada tahun 1998. Oleh karena itu, pemulihan kinerja sektor industri pangan asal ternak sudah saatnya diprioritaskan pada optimalisasi dan pemberdayaan sumber daya lokal melalui pengembangan inovasi teknologi yang tepat. Agribisnis sapi potong untuk menghasilkan bakalan ternyata memiliki peluang yang sangat besar dalam menjawab tantangan sekaligus peluang tersebut di atas. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa: (1) lebih dari 99% penghasil sapi bakalan di dalam negeri adalah peternakan rakyat; (2) permintaan akan daging cenderung terus meningkat; serta (3) ketersediaan sumber daya lokal cukup memadai. Makalah ini mengupas perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia, serta perkembangan bioteknologi peternakan dan upaya pemanfaatannya untuk mendorong penyediaan sapi bakalan. Kupasan diharapkan dapat: (1) memberi arah dalam
pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal; (2) memfokuskan tujuan pengembangan sapi bakalan secara kompetitif; serta (3) menetapkan sasaran agar peternak sapi penghasil bakalan lebih sejahtera, baik melalui keuntungan ekonomis maupun keuntungan lainnya.

Usaha cow-calf operation untuk menghasilkan sapi bakalan secara kompetitif dapat dilakukan di Indonesia. Walaupun
perhitungan secara parsial usaha ini seolah-olah tidak menguntungkan, tetapi bila pelaksanaannya dilakukan secara integratif dengan usaha lain melalui sistem zero waste pola CLS, peternak masih akan memperoleh keuntungan yang memadai. Jawa Barat yang merupakan lumbung padi nomor satu di Indonesia secara potensial Pemanfaatan sumber daya lokal dan inovasi teknologi ... 185 dapat mengakomodasi pengembangan usaha sapi pola CLS sampai lebih dari 2
juta ekor. Bila 25% dari potensi ini dapat direalisasikan maka tidak mustahil ketergantungan pada daging dan sapi bakalan impor dapat dikurangi secara signifikan. Pengembangan sapi pola CLS juga dapat dilakukan di kawasan perkebunan, baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun daerah lainnya. Beberapa contoh keberhasilan pengembangan sapi pola CLS di Lampung dan Riau dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model, yang
selanjutnya dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi agroekologi dan sosial ekonomi setempat. Saat ini hampir tidak
dapat dijumpai sapi atau ternak di kawasan perkebunan tersebut. Bila potensi ini dapat dikembangkan untuk usaha cow-calf operation maka daya tampung potensial dapat mencapai jutaan ekor sapi. Oleh karena itu, pengembangan usaha sapi di Indonesia tidak harus diarahkan pada pola ranch atau pengembangan pastura. Untuk menjamin keberhasilan usaha cow-calf operation perlu dukungan inovasi teknologi yang tepat, antara lain: (1) strategi penyediaan dan pemberiaan pakan; (2) peningkatan kualitas pakan melalui pemanfaatan probiotik yang dikombinasikan dengan teknologi amoniasi; (3) penyediaan pejantan berkualitas dalam jumlah cukup, atau dengan kombinasi dukungan teknologi IB; (4) sistem perkandangan yang benar, yaitu pola kelompok dan semikereman; serta (5) pengelolaan dan pengolahan kotoran untuk dijadikan bahan organik untuk menyuburkan tanah. Teknologi maju atau bioteknologi,
seperti TE dan MOET, kloning, splitting, sexing, transgenik, serta MAS dan QTL, dalam jangka pendek belum dapat diaplikasikan secara luas pada agribisnis sapi potong. Namun, teknologi ini harus terus digali dan dikuasai untuk mengantisipasi perkembangan di masa depan. Produk bioteknologi untuk keperluan pakan (pengkayaan pakan) dan obat-obatan (vaksin) dapat diaplikasikan bila secara ekonomis layak. Untuk keperluan pengembangan kelompok elit dalam penyediaan pejantan, baik untuk keperluan IB maupun kawin alami, maka teknologi TE dapat digunakan secara terbatas. Pemilihan pejantan dalam program pemuliaan dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, serta menggunakan parameter teknis yang mudah diukur

sumber

https://www.scribd.com/doc/297266507/Local-Resource-Utilization-And

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SECURITY SISTEM KOMPUTER

SECURITY SISTEM KOMPUTER Sistem  adalah suatu sekumpulan elemen atau unsur yang saling berkaitan dan memiliki tujuan yang sama. ...